Pesantren Nurul Qadim di Desa Kalikajar Kulon Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo didirikan oleh KH. Hasyim atau yang cukup dikenal dengan sebutan Kiai Mino. Kini pesantren ini diasuh oleh KH. Hasan Abdul Jalal Hasyim dan memiliki banyak santri hingga ke luar daerah.

Pada awal didirikan oleh Kiai Mino, pesantren ini hanyalah sebuah musholla yang kemudian berubah menjadi sebuah masjid. Dari waktu ke waktu, banyak orang tua yang mengirimkan putra-putrinya untuk menimba ilmu. Mendapati perkembangan jumlah santri itu, Kiai Mino kemudian mendirikan tempat kegiatan belajar mengajar yang layak dan nyaman. Maka, berdirilah gedung madrasah sebanyak tiga lokal. Sayang, empat tahun kemudian kegiatan belajar mengajar di gedung madrasah anyar itu “bubar”. Itu terjadi setelah ada kendala dari sektor tenaga pengajar. “Kegiatan belajar mengajar di madrasah itu terus merosot hingga akhirnya vakum lantaran kurangnya tenaga pengajar dan minimnya fasilitas pendidikan,”.

Madrasah diniyah (madin) yang awalnya berjaya itu, tinggal kenangan. Lokal kelas dan sejumlah fasilitas lainnya mulai tidak terurus. Hal itu berlangsung sampai dengan tahun 1964. Ditahun yang sama, menantu Kiai Mino, Kiai Nuruddin Musyiri mencoba kembali membangun madin itu dari tidur panjangnya. Alumnus Pesantren Zainul Hasan (Zaha) Genggong Pajarakan itu membangunkan madin dengan memilih proses belajar mengajar di pagi hari. Madrasah anyar itu diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hasan.

Tidak hanya itu, Kiai Nuruddin juga membuka kembali asrama santri yang sempat mangkrak. Syukur, kini madin yang penuh dengan pelajaran-pelajaran salaf itu semakin berjaya. “Sejak itu, pesantren ini terus berkembang pesat. Santrinya ada yang dari Madura, Cirebon, Banyuwangi, Jember dan paling banyak dari masyarakat sekitar pesantren,”. Kiai Nuruddin bersama KH. Hasan Abdul Jalal (putra almarhum Kiai Mino) terus berupaya mengembangkan sektor pendidikan di pesantrennya. Terlebih, setelah melihat banyak santrinya yang telah lulus dari madin masih ingin terus mondok. Sayangnya, pesantren belum mempunyai sekolah lanjutan. Melihat hal itu, Kiai Nuruddin bersama Kiai Jalal bahu membahu pada tahun 1970 mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Tetapi pelajarannya khusus pelajaran-pelajaran salaf bersumber dari kitab-kitab peninggalan ulama-ulama salaf. Atau lebih terkenal dengan sebutan kitab kuning.

Empat tahun kemudian atau pada tahun 1974, pesantren Nurul Qadim kembali kebingungan dengan alumni MTs-nya. Mereka bingung mencari sekolah lanjutan. Kebingungan itu akhirnya dijawab oleh pihak pesantren dengan mendirikan Madrasah Aliyah (MA). “Semua itu dilakukan untuk melanjutkan pelajaran yang sudah diperoleh di madin. Begitu juga yang aliyah (MA) untuk melanjutkan pelajaran yang sudah didapat sewaktu masih di MTs,” kenangnya bangga.

Dengan berkembangnya sektor pendidikan, berdampak pula pada semakin membludaknya santri. Sehingga pada tahun 1979, pihak pesantren kembali mendirikan asrama untuk santri putri. Asrama itu diberi nama Pesantren Putri Nurul Qadim Banat I. “Alhamdulillah, jumlah santri semakin banyak. Sehingga harus kembali mendirikan asrama santri putri dengan nama Pesantren Putri Nurul Qadim Banat II pada tahun 1988 silam, serta pendirian Lembaga Sekolah Tinggi Pesantren yang bernama Ma’had Aly Nurul Qadim pada tahun 2015 serta SK diturunkan oleh KEMENAG pada tahun 2017”.