Ijtihad Ulama NU dalam Bidang Sosial-Politik
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang menaungi banyak umat, Nahdlatul Ulama memiliki kepentingan untuk senantiasa menjaga keutuhan dan kebersamaan. Sikap-sikap NU selama ini, jika diperhatikan dengan seksama, selalu bertujuan untuk menjaga kondusifitas dan stabilitas ulama. Banyak kalangan menilai hal ini sebagai sesuatu yang pragmatis dan apologetik. Namun jika ditelaah lebih lanjut, argumen dan alasan yang dikemukakan oleh NU selalu berakar dari tradisi keilmuan yang kuat.

 

Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal negara, misalnya. Hal ini diputuskan melalui Munas tahun 1983 dan dipatenkan dalam Muktamar tahun 1984 – keduanya dilaksanakan di Situbondo. Menurut kesaksian KH. Mustofa Bisri, dinamika pembahasan di sana sangat mengalir dan diputuskan secara sangat singkat. ‘Penerimaan dan pengamalan Pancasila,’ bunyi hasil Munas tahun 1983 Situbondo itu, ‘merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.’ Maka NU bukan sekedar menerima Pancasila, namun juga mewajibkan mengamalkan Pancasila sebagai wujud pengamalan syariat.

Di antara keputusan NU yang penting dalam meminimalisir konflik antara umat Islam dan negara adalah keputusan Muktamar di Makassar tahun 2010 mengenai relasi hukum positif (qanun wadl’i) dan hukum syar’i. Dalam Muktamar itu diputuskan bahwa al-maskutat ‘anha alias persoalan-persoalan yang tidak dibahas oleh syariat namun oleh hukum positif ditetapkan, maka persoalan seperti ini harus diikuti. Sementara hukum positif yang menetapkan hukum mubah – dan mengandung nilai maslahat – atau menetapkan sesuatu yang mandub maka hukum positif tersebut menjadi memiliki nilai wajib secara syar’i.

Selain itu, keputusan fenomenal dan heroik yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai resolusi jihad merupakan keputusan yang “cerdas” secara syar’i dan siyasi. Jihad, menurut resolusi tersebut, adalah fardlu ‘ain. Keputusan ini tentu sangat penting dan berani mengingat keputusan ini berkonsekuensi bahwa orang yang secara sengaja meninggalkan jihad dalam jarak qashar akan menanggung dosa besar. Keputusan seperti ini sangat jarang dikeluarkan. Namun NU memandang bahwa hal itu sangat penting dan urgen.

Hingga yang terkini, pada Munas tahun 2019 di Banjar, NU memutuskan bahwa kata “kafir” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dihapuskan dan tidak digunakan. Alasannya: definisi teknis kafir dalam turats (misal harby, dzimmy, dll) tidak dikenal dan tidak ada yang cocok dengan non-muslim di negara bangsa, khususnya Indonesia.

Keempat keputusan yang sudah kami sebutkan di atas merupakan wujud bahwa keputusan keagamaan NU yang menyangkut politik dan hajat hidup orang banyak tidaklah bersifat pragmatis. Melainkan bersikap solutif dan melampaui masyarakat kebanyakan.

____________________________________

Materi silahkan unduh disini

Leave a Comment